Apakah Hijab Merupakan Fenomena Terorisme dan Tindak Refresif ?
Media massa Barat-akhir-akhir ini-menghubungkan jilbab dengan terorisme. Apakah menurut Anda ada hubungan antara kedua hal tersebut?
Tidak ada hubungan antara terorisme dan jilbab. Sesungguhnya para teroris itu dari kalangan pria. Ini adalah keadaan yang diperoleh masyarakat Timur dari masyarakat Barat. Terdapat kelompok mafia yang banyak melakukan tindak kekerasan dan teror. Persentase terorisme yang ada di Barat, termasuk Amerika dan Eropa, jauh mengungguli apa yang dinamakan dengan terorisme di dunia Timur atau dunia ketiga. Kata terorisme, kemunduran, dan fanatisme termasuk dari kata- kata yang bersifat konsumtif yang diciptakan Barat untuk membentuk opini dunia internasional guna melawan kaum Muslim dan orang-orang yang religius.
Francisco Bero menegaskan bahwa jilbab merupakan simbol penindasan wanita, dan bahwa sekolah-sekolah Perancis harus melindungi orang yang lemah, dengan pertimbangan bahwa munculnya ketegangan terbatas hari ini lebih baik daripada munculnya pergolakan besar esok. Apakah peryataannya ini sesuai dengan pernyataan tentang penghormatan kebebasan manusia yang selalu didengungkan oleh Perancis?
Kami bertanya-tanya: Apakah orang ini mengizinkan para mahasiswi untuk pergi ke sekolah dalam keadaan telanjang? Tentu, tidak. Kalau begitu, mengapa dia menganggap bahwa kita menindas wanita ketika kita mengharuskannya untuk menutup bagian-bagian yang merangsang dalam tubuhnya, atau ketika kita menekan pria untuk menutup bagian-bagian sensitif dalam tubuhnya? Jika masalahnya adalah kebebasan mutlak, maka kita tidak boleh menekan masyarakat Perancis atau masyarakat mana pun guna memakai pakaian, dan kita tidak boleh melarang masyarakat mana pun untuk telanjang. Tetapi, apabila kita menganggap bahwa telanjang adalah masalah yang ditentukan oleh kemaslahatan manusia yang menggambarkan esensi gerakan kebebasan, maka wanita-wanita yang berjilbab pun percaya bahwa dengan itu mereka dapat menjaga kemaslahatan manusia karena meninggalkan jilbab justru akan merusak tatanan sosial dan moral yang para penganjur pencopotan jilbab juga mengklaim ingin memperjuangkannya.
Adapun pernyataan tentang penindasan wanita, perlu diketahui bahwa mahasiswi-mahasiswi yang berdemonstrasi menentang undang-undang pelarangan jilbab di sekolah di Perancis, mereka berangkat dari kemauan mereka yang religius dan khusus berkenaan dengan hijab, bukan dari tekanan keluarga. Merupakan penindasan kebebasan bila kita memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Para wanita yang konsekuen dengan jilbab tidak mengalami penindasan kebebasan melalui adanya jilbab mereka. Sebaliknya, pemaksaan pencabutan jilbab atas mereka justru menindas kebebasan mereka. Oleh karena itu, masalah tersebut malah terbalik secara logika, sekalipun dalam tolok ukur logika kebebasan yang dipegang erat-erat oleh Perancis.
Kaitan hijab dengan bentuk penindasan ini menjadikan kaum hawa di masyarakat Arab dan Islam merespon suara-suara yang lantang di masa sekarang, yang mengajak untuk mencopotnya. Bagaimana Anda menjelaskan respon yang luas terhadap ajakan itu?
Dalam masalah ini terdapat dua hal: Pertama, banyak wanita yang memakai jilbab yang tidak bersandarkan kepada kaidah komitmen keagamaan (qa'idah al-iltizam ad-diniy), yang mengharuskan adanya keterbukaan (patuh) terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya yang jauh dari kecenderungan-kecenderungan diri (nawazi' ad-dzat) dan perubahan-perubahan situasi sosial. Bagi mereka, jilbab sekadar sebuah tradisi di antara tradisi-tradisi lain. Kita menemukan sebagian orang tua-meskipun mereka yang religius-membenarkan di depan anak-anak perempuan mereka keharusan memakai jilbab, tetapi mereka menganggap bahwa pencopotan jilbab merupakan aib yang ber akibat kepada ancaman kritikan orang terhadap mereka (anak-anak perempuan) , dan itu merusak kehormatan ayah, keluarga, dan sebagainya. Para orang tua itu menanamkan pada benak anak-anak gadis bahwa masalah tersebut (jilbab) berhubungan dengan adat-istiadat dan tidak berkaitan dengan komitmen keagamaan dan dengan ketakwaan.
Oleh karena itu, terkadang kita menemukan para pemudi yang rajin melakukan salat, puasa, dan terikat dengan pelbagai hukum syariat, tetapi mereka tidak peduli dengan jilbab mereka, dengan alasan bahwa jilbab termasuk adat yang sudah usang, dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh karena ini, kami percaya bahwa sistem pendidikan merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab atas respon para wanita terhadap ajakan untuk mencopot jilbab. Oleh karena itu, sistem pendidikan dalam aspek ini harus menggunakan komponen-komponen agama yang menjadikan pemikiran wanita terhadap jilbab sama dengan pemikirannya terhadap salat dan puasa, dengan perinsip bahwa jika merupakan suatu kewajiban yang di perintahkan Allah sebagimana Dia memerintahkan salat dan puasa. Jadi, bukan sekedar keadaan darurat yang diharuskan oleh adat dan budaya sosial, atau di wajibkan oleh situasi-situasi insidetial (al-audah' ad-dzatiyyah) atau keluarga, dan ia bukan termasuk masalah aib dan sebagainya.
Ini masalah pertama. Adapun masalah kedua yang dapat wanita mencopot jilbab dengan cara seperti ini. Penindasan berat yang kemanusiaannya di campakan di depan orang, dan kepribadianya dipinggirkan. Dibisikannya kepadanya bahwa ia sekedar "barang" dari "barang-barang" pria, yang dia (pria) menjaganya (perempuan) dengan menyembunyikannya dari penglihatan sebagaimana di menjaga barang-barangnya, dan dia tidak melihatnya sebagai manusia yang memiliki akal dan iradah (kehendak). Kehidupan wanita, harapanya, impian-impiannya jauh dari pikiran pria. Dan boleh jadi Jilbab telah menjadi-sehubungan dengan wanita dalam situasi sosial saat ini-penjara yang di alami wanita, yang mendorong adanya usaha untuk menembus dinding penjara, Persis sebagaimana keadaan orang hidup dalam kebuntuan, dimana ia berusaha keluar dari kebuntuan itu dengan cara apapun, tanpa memperdulikan akibat-akibat yang menyertainnya-kebutuhan baru yang lebih sulit dan kan menjerumuskan ke problem-problem.
Apa peranan Barat dalam bidang ini ?
Sesungguhnya hegemoni barat atas kawasan islam secara politis akan di ikuti oleh hegemoninya atas garis-garis (kebijakan) Budaya dan sosial di dalamnya, yang memperkuat keinginan wanita untuk menembus "pagar-pagar hijab" sebagai bentuk respon terhadap inspirasi-inspirasi budaya yang mengelabui pikirannya dan membuka lebar-lebar pintu ke kebebasannya. Dan Barat memanfaatkan-untuk menegaskan ajakannya-fenomena realistis yang dialami wanita dan mereka (barat) menggagap bahwa itu merupakan akibat dari ampas-ampas Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Apakah Hijab Merupakan Fenomena Terorisme dan Tindak Refresif ? "
Posting Komentar